“Cinta memang butuh bukti, bukan sekedar janji”. Kata-kata inilah yang mungkin saat itu terbersit di benak Bandung Bondowoso, seorang pangeran rupawan dari Pengging yang terkenal kesaktiannya itu. Tepatnya, saat gayung tak segera bersambut setelah ia mengutarakan rasa cintanya pada seorang putri raja yang cantik jelita, Roro Jonggrang.
Tentu kita semua bisa membaca isi hati Roro Jonggrang di balik penolakan cintanya kepada Bandung Bondowoso. Ya, apalagi alasannya kalau bukan karena seorang pangeran yang gagah perkasa itu ternyata adalah laki-laki yang telah membunuh ayahnya, Prabu Boko. Alasan itulah yang kemudian mendorongnya untuk menolak cintanya Bandung Bondowoso secara halus. Dengan bahasa lain, ia menerima cintanya tetapi dengan dua syarat yang bisa dibilang sangat tidak masuk akal: membuat sumur raksasa Jalatunda dan seribu candi dalam waktu semalam!
Andai saja kita berada di posisi Bandung Bondowoso, mungkin kita akan berfikir seribu kali kemudian mengatakan, “Syarat macam apa ini?” Tapi, kata-kata itu tidaklah ada di dalam kamus Bandung Bondowoso. Atas nama cinta, dengan bermodal kesaktiannya, ia menyanggupi syarat Roro Jonggrang yang tak main-main itu. Baginya, cinta itu butuh bukti. Dan sebagai bukti cintanya, ia mau melakukan apa saja demi seseorang yang dicintainya.
Dan ternyata kekuatan cinta memang luar biasa. Dengan tekad yang kuat, Bandung Bondowoso pun dengan mudah berhasil menyelesaikan syarat pertama, membangun sumur Jalatunda. Kini, ia hanya tinggal menyelesaikan persyaratan kedua, membangun seribu candi! Sepertinya mustahil membangun seribu candi dalam waktu semalam. Namun, sebagai seorang Pangeran yang sakti, pekerjaan itu tentu bukan sesuatu yang teramat sulit. Dengan kesaktiannya, ia berhasil meminta bantuan para makhluk halus untuk membangun seribu candi.
Melihat pembangunan seribu candi itu hampir selesai, Roro Jonggrang mulai khawatir. Ia segera membangunkan seluruh perempuan desa untuk mulai menumbuk padi pada lesung-lesung. Ia juga memerintahkan para dayangnya untuk membakar jerami pada sisi timur desa. Tujuannya tak lain untuk menampakkan bahwa seolah-olah waktu malam sudah hilang, dan pagi telah datang.
Melihat kegiatan pagi sudah berlangsung, ayam-ayam pun terperdaya dan mulai berkokok bersaut-sautan. Pun demikian dengan para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaan yang sudah mencapai 999 candi, karena mengira bahwa sebentar lagi sang mentari akan terbit. Dengan itu, maka Bandung Bondowoso dinyatakan gagal untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Roro Jonggrang.
Melihat kegiatan pagi sudah berlangsung, ayam-ayam pun terperdaya dan mulai berkokok bersaut-sautan. Pun demikian dengan para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaan yang sudah mencapai 999 candi, karena mengira bahwa sebentar lagi sang mentari akan terbit. Dengan itu, maka Bandung Bondowoso dinyatakan gagal untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Roro Jonggrang.
Ketika mengetahui bahwa kegagalan itu adalah akibat dari tipu muslihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso pun murka. Dengan kesaktiannya ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu, sekaligus untuk melengkapi sebagai candi yang ke seribu.
Si Zizi, bidadari kecilku pun tertidur pulas dalam buaian legenda Roro Jonggrang
***
Legenda Roro Jonggrang yang sudah saya dengar sejak kecil itu kembali memenuhi benak saya saat itu. Ketika kami (saya, istri, dan Zizi, si bidadari kecil) keluar dari pelataran Candi Roro Jonggrang atau yang terkenal dengan Candi Prambanan ini, kemudian melangkahkan kaki menyusuri jalan kecil yang menghubungkan Candi Prambanan ke Candi Sewu.
Keluar dari pelataran utama sebelah utara Candi Prambanan untuk menuju ke Candi Sewu
Letak Candi Sewu sendiri adalah di sebelah utara Candi Prambanan. Jaraknya lumayan cukup menguras energi jika ditempuh dengan jalan kaki. Sehingga, bagi Anda yang tak biasa jalan kaki, maka dapat memanfaatkan kendaraan yang disediakan oleh pengelola tempat wisata ini. Tentu dengan membayar beberapa ribu rupiah sebagai pengganti jasa mereka.
Kendaraan yang bisa ditumpangi dari Candi Prambanan menuju Candi Sewu
Candi Lumbung terletak sekitar 500 meter dari Candi Prambanan. Candi yang diduga menjadi pusat peribadatan keagamaan ini diberi nama Candi Lumbung oleh masyarakat karena bentuknya yang mirip seperti lumbung, tempat untuk menyimpan padi. Kompleks Candi Lumbung terdiri dari sebuah Candi Induk yang dikelilingi oleh 16 candi kecil. Di sekeliling dinding luar Candi Induk ini, terpahat relief gambar pria dan wanita. Yang membuat menarik, adalah ukuran reliefnya yang hampir sama dengan ukuran manusia sebenarnya. Sebuah hal yang jarang dijumpai di candi-candi lain.
Kompleks Candi Lumbung, candi Budha di utara Candi Prambanan
Dari papan informasi di depan candi, tertulis bahwa candi ini tersusun dari batu andesit. Ukurannya lumayan besar, yakni 12 m x 12 m. Saat ditemukan, candi ini menyisakan reruntuhan setinggi 2 meter, serta beberapa arca Budha yang sudah tidak utuh lagi. Beberapa temuan tersebut mengindikasikan bahwa Candi Bubrah ini adalah candi Budha yang pernah berdiri dengan damai di sebelah candi Hindu terindah di Asia Tenggara; Candi Prambanan.
Seperti namanya, kondisi candi ini benar-benar bubrah. Semoga bisa direkonstruksi kembali..
Entah apa yang terbentuk dalam pikiran, ketika melihat reruntuhan batu candi, saya selalu merasa takjub dan terpesona. Demikian juga ketika saya melihat hamparan batu tak beraturan di depan mata ini. Menurut legenda, inilah hasil kerja para makhluk halus yang lari tunggang langgang karena menganggap pagi sudah datang.
Inilah Candi Sewu, Candi Budha terbesar kedua di Indonesia!
Lantas, berapa jumlah candi di kompleks Candi Sewu sebenarnya? Menurut sumber yang bisa dipercaya, sebenarnya Candi Sewu hanya berjumlah 249 candi. Dari sejumlah candi tersebut, terdiri dari 1 Candi Utama, 8 Candi Pengapit dan 240 Candi Perwara. Nah, salah satu keunikan dari kompleks candi ini adalah semua bangunan candi disusun dalam posisi yang simetris dengan Candi Utama yang berada di tengah-tengah. Saya tak bisa membayangkan, betapa hebatnya sang arsitek Candi Sewu ini ketika akan membuat blueprint bangunan candi.
Candi Pengapit di kompleks Candi Sewu
Inilah Dwarapala, penjaga Candi Sewu yang menyeramkan itu..
Merapi yang menjulang tinggi, satu pesona yang bisa diintip dari Candi Sewu
Candi Utama di Candi Sewu, salah satu mahakarya Rakai Panangkaran yang luar biasa
Relief eksotik yang terpahat di dinding Candi Pengapit
Mengintip di antara legenda dan mitos: stupa Candi Sewu dan puncak merapi!
Pemandangan dari ruang dalam Candi Utama di Candi Sewu
Sambil berharap nilai-nilai toleran sebagaimana yang tergambar di Candi Sewu ini senantiasa bersemi kembali, saya melangkah menyusuri candi hingga ke sisi barat. Di balik keteduhan candi karena tak terkena sinar sang mentari, saya kembali melihat ke pelataran. Di sana masih menyimpan sejuta cerita indah yang tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu yang hingga hari ini masih belum tersusun dengan rapi.
Sejuta kisah masih tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu
Jikalau itu semua juga belumlah cukup untuk menumbuhkan rasa toleransi kita, maka berkunjunglah ke Candi Sojiwan. Jaraknya sekitar empat kilometer ke arah selatan dari Candi Sewu. Candi Budha yang terletak di Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini konon dibangun oleh Raja Balitung yang beragama Hindu sebagai penghormatan terhadap neneknya yang beragama Budha.
Candi Sojiwan, penghormatan Raja Balitung kepada neneknya yang berbeda agama
Candi Plaosan, hadiah cinta Rakai Pikatan kepada Pramodyawardani, istrinya yang juga berbeda agama
Sebelum pulang, mari berselfie dulu! Sebagai saksi pesona keindahan toleransi di balik legenda seribu candi..
*
#VisitJawaTengah #JatengGayeng
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @visitjawatengah (www.twitter.com/visitjawatengah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar