Senin, 24 Oktober 2016

Mengintip Pesona Keindahan Toleransi di Balik Legenda Seribu Candi

“Cinta memang butuh bukti, bukan sekedar janji”. Kata-kata inilah yang mungkin saat itu terbersit di benak Bandung Bondowoso, seorang pangeran rupawan dari Pengging yang terkenal kesaktiannya itu. Tepatnya, saat gayung tak segera bersambut setelah ia mengutarakan rasa cintanya pada seorang putri raja yang cantik jelita, Roro Jonggrang.

Tentu kita semua bisa membaca isi hati Roro Jonggrang di balik penolakan cintanya kepada Bandung Bondowoso. Ya, apalagi alasannya kalau bukan karena seorang pangeran yang gagah perkasa itu ternyata adalah laki-laki yang telah membunuh ayahnya, Prabu Boko. Alasan itulah yang kemudian mendorongnya untuk menolak cintanya Bandung Bondowoso secara halus. Dengan bahasa lain, ia menerima cintanya tetapi dengan dua syarat yang bisa dibilang sangat tidak masuk akal: membuat sumur raksasa Jalatunda dan seribu candi dalam waktu semalam!

Andai saja kita berada di posisi Bandung Bondowoso, mungkin kita akan berfikir seribu kali kemudian mengatakan, “Syarat macam apa ini?” Tapi, kata-kata itu tidaklah ada di dalam kamus Bandung Bondowoso. Atas nama cinta, dengan bermodal kesaktiannya, ia menyanggupi syarat Roro Jonggrang yang tak main-main itu. Baginya, cinta itu butuh bukti. Dan sebagai bukti cintanya, ia mau melakukan apa saja demi seseorang yang dicintainya.

Dan ternyata kekuatan cinta memang luar biasa. Dengan tekad yang kuat, Bandung Bondowoso pun dengan mudah berhasil menyelesaikan syarat pertama, membangun sumur Jalatunda. Kini, ia hanya tinggal menyelesaikan persyaratan kedua, membangun seribu candi! Sepertinya mustahil membangun seribu candi dalam waktu semalam. Namun, sebagai seorang Pangeran yang sakti, pekerjaan itu tentu bukan sesuatu yang teramat sulit. Dengan kesaktiannya, ia berhasil meminta bantuan para makhluk halus untuk membangun seribu candi.

Melihat pembangunan seribu candi itu hampir selesai, Roro Jonggrang mulai khawatir. Ia segera membangunkan seluruh perempuan desa untuk mulai menumbuk padi pada lesung-lesung. Ia juga memerintahkan para dayangnya untuk membakar jerami pada sisi timur desa. Tujuannya tak lain untuk menampakkan bahwa seolah-olah waktu malam sudah hilang, dan pagi telah datang.

Melihat kegiatan pagi sudah berlangsung, ayam-ayam pun terperdaya dan mulai berkokok bersaut-sautan. Pun demikian dengan para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaan yang sudah mencapai 999 candi, karena mengira bahwa sebentar lagi sang mentari akan terbit. Dengan itu, maka Bandung Bondowoso dinyatakan gagal untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Roro Jonggrang.

Ketika mengetahui bahwa kegagalan itu adalah akibat dari tipu muslihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso pun murka. Dengan kesaktiannya ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu, sekaligus untuk melengkapi sebagai candi yang ke seribu. 
Si Zizi, bidadari kecilku pun tertidur pulas dalam buaian legenda Roro Jonggrang

Begitulah legenda asal mula Candi Sewu yang konon merupakan 999 candi yang belum selesai. Dan konon, menurut legenda, arca Durga yang berada di ruang sebelah utara Candi Prambanan adalah perwujudan dari Sang Putri yang disulap menjadi batu oleh Bandung Bondowoso.

***

Legenda Roro Jonggrang yang sudah saya dengar sejak kecil itu kembali memenuhi benak saya saat itu. Ketika kami (saya, istri, dan Zizi, si bidadari kecil) keluar dari pelataran Candi Roro Jonggrang atau yang terkenal dengan Candi Prambanan ini, kemudian melangkahkan kaki menyusuri jalan kecil yang menghubungkan Candi Prambanan ke Candi Sewu.
Keluar dari pelataran utama sebelah utara Candi Prambanan untuk menuju ke Candi Sewu

Ya, Candi Sewu memang berada satu kompleks dengan Candi Prambanan. Namun meskipun satu kompleks, ternyata kedua candi ini berada dalam wilayah administratif yang berbeda. Candi Prambanan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sedangkan Candi Sewu masuk ke dalam wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tepatnya berada di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

Letak Candi Sewu sendiri adalah di sebelah utara Candi Prambanan. Jaraknya lumayan cukup menguras energi jika ditempuh dengan jalan kaki. Sehingga, bagi Anda yang tak biasa jalan kaki, maka dapat memanfaatkan kendaraan yang disediakan oleh pengelola tempat wisata ini. Tentu dengan membayar beberapa ribu rupiah sebagai pengganti jasa mereka.
Kendaraan yang bisa ditumpangi dari Candi Prambanan menuju Candi Sewu

Kami sendiri lebih memilih untuk berjalan kaki sembari menapaki jejak-jejak Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang di tempat ini. Selain itu, jika kita berjalan kaki, kita juga bisa menikmati pesona kehidupan zaman dahulu yang tergambar dari candi-candi lain yang terletak di antara Candi Prambanan dan Candi Sewu. Yah, di antara kedua candi besar itu, ada Candi Lumbung dan Candi Bubrah. Kedua candi ini, sebagaimana Candi Sewu, juga masuk ke dalam wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Candi Lumbung terletak sekitar 500 meter dari Candi Prambanan. Candi yang diduga menjadi pusat peribadatan keagamaan ini diberi nama Candi Lumbung oleh masyarakat karena bentuknya yang mirip seperti lumbung, tempat untuk menyimpan padi. Kompleks Candi Lumbung terdiri dari sebuah Candi Induk yang dikelilingi oleh 16 candi kecil. Di sekeliling dinding luar Candi Induk ini, terpahat relief gambar pria dan wanita. Yang membuat menarik, adalah ukuran reliefnya yang hampir sama dengan ukuran manusia sebenarnya. Sebuah hal yang jarang dijumpai di candi-candi lain.
Kompleks Candi Lumbung, candi Budha di utara Candi Prambanan

Tak jauh dari Candi Lumbung, jika kita melangkahkan kaki ke arah utara, maka kita akan menemukan sebuah candi yang diberi nama Candi Bubrah. Ya, seperti namanya, candi ini benar-benar bubrah, yang dalam bahasa Jawa berarti rusak.

Dari papan informasi di depan candi, tertulis bahwa candi ini tersusun dari batu andesit. Ukurannya lumayan besar, yakni 12 m x 12 m. Saat ditemukan, candi ini menyisakan reruntuhan setinggi 2 meter, serta beberapa arca Budha yang sudah tidak utuh lagi. Beberapa temuan tersebut mengindikasikan bahwa Candi Bubrah ini adalah candi Budha yang pernah berdiri dengan damai di sebelah candi Hindu terindah di Asia Tenggara; Candi Prambanan.
Seperti namanya, kondisi candi ini benar-benar bubrah. Semoga bisa direkonstruksi kembali..

Selesai mengintip keindahan yang tergambar dari Candi Lumbung dan Candi Bubrah, kami terus berjalan ke utara menuju tempat berdirinya Candi Sewu. Perjalanan yang lumayan melelahkan, namun sepadan dengan pesona keindahannya. Sehingga tak terasa, kami sudah sampai di pelataran menuju pintu masuk ke Candi Sewu. Selanjutnya, saya seakan lebur di dalam atmosfer candi Budha terbesar kedua di Indonesia setelah Borobudur itu.

Entah apa yang terbentuk dalam pikiran, ketika melihat reruntuhan batu candi, saya selalu merasa takjub dan terpesona. Demikian juga ketika saya melihat hamparan batu tak beraturan di depan mata ini. Menurut  legenda, inilah hasil kerja para makhluk halus yang lari tunggang langgang karena menganggap pagi sudah datang. 
Inilah Candi Sewu, Candi Budha terbesar kedua di Indonesia!

Di luar kisah Roro Jonggrang yang beredar di masyarakat, Candi Sewu ini diperkirakan dibangun pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran, sekitar abad ke-8 Masehi. Candi Sewu, yang dalam bahasa Jawa berarti seribu, hanya menunjukkan hiperbolisme tutur bahasa Jawa sebagai pengganti kata banyak sekali. Menurut sejarahnya, nama asli Candi Sewu adalah Manjusri Grha yang berarti Rumah Manjusri. Manjusri sendiri, konon katanya merupakan salah satu nama Buddhisatva dalam ajaran Budha.

Lantas, berapa jumlah candi di kompleks Candi Sewu sebenarnya? Menurut sumber yang bisa dipercaya, sebenarnya Candi Sewu hanya berjumlah 249 candi. Dari sejumlah candi tersebut, terdiri dari 1 Candi Utama, 8 Candi Pengapit dan 240 Candi Perwara. Nah, salah satu keunikan dari kompleks candi ini adalah semua bangunan candi disusun dalam posisi yang simetris dengan Candi Utama yang berada di tengah-tengah. Saya tak bisa membayangkan, betapa hebatnya sang arsitek Candi Sewu ini ketika akan membuat blueprint bangunan candi.
Candi Pengapit di kompleks Candi Sewu

Jika kita memasuki area pelataran, maka kita akan menemukan empat pintu gerbang di empat sisi mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur. Pada keempat pintu gerbang berdiri masing-masing satu pasang patung Dwarapala. Dwarapala ini digambarkan dengan bentuk fisik raksasa besar yang menyeramkan. Matanya melotot, rambutnya panjang ikal berombak diikat dengan ular, serta tangannya memegang gada. Lebih seram lagi, patung ini berkalungkan ular dipundaknya. Namun bagaimanapun, saya harus masuk melewati dua Dwarapala ini untuk menikmati keelokan Candi Sewu ini secara dekat.
Inilah Dwarapala, penjaga Candi Sewu yang menyeramkan itu..

Langkah saya pelan menapaki pelataran luar candi yang dibangun pada abad ke-8 atas perintah penguasa Mataram saat itu. Dari pelataran luar, saya bisa menikmati Gunung Merapi di kejauhan yang puncaknya seperti terbelah sebagai akibat aktivitas vulkaniknya. Dan entah kenapa, melihat Gunung Merapi, sehelai benang lamunan terbang memintal legenda Candi Sewu. Namun, tak ingin berpikir jauh, saya segera mencabutnya dari taman pikiran dan kembali menikmati bangunan-bangunan batu yang berdiri megah.
Merapi yang menjulang tinggi, satu pesona  yang bisa diintip dari Candi Sewu

Saya memandangi Candi Utama penuh kekaguman. Sungguh, saya menyukai arsitektur Candi Utama ini. Bukan hanya karena bentuknya yang bersudut-sudut yang memberi kesan keunikan. Akan tetapi, atapnya pun dibuat seakan berlapis dan memiliki pembatas yang sedemikian indahnya. Bagi saya, Candi Sewu memang sebuah mahakarya yang luar biasa.
Candi Utama di Candi Sewu, salah satu mahakarya Rakai Panangkaran yang luar biasa

Di abad ketika teknologi penggunaan semen belum ditemukan, rumus rumit matematika tentang konstruksi dan ketahanan material belum dihitung, Candi Sewu dibangun hingga ketinggian sekitar 30 meter. Lebih membuat menarik lagi, di tiap atap yang berjumlah sembilan itu, terdapat stupa pada puncaknya. Tak hanya itu, relief-relief yang terpahat indah di dinding candi, baik di Candi Utama maupun Candi Pengapit juga menambah kesan eksotik yang luar biasa. Sungguh, saat itu leluhur kita berada dalam sebuah peradaban yang membanggakan.
Relief eksotik yang terpahat di dinding Candi Pengapit

Seakan telah mendapat restu dari dua Dwarapala bergada, saya menaiki tangga sebelah timur Candi Utama yang berhiaskan makara menuju selasar Candi. Di ketinggian lantai ini, saya terpana menikmati lebih jelas keindahan puncak Merapi yang seakan terbelah. Hari yang luar biasa! Lagi-lagi, sejumput lamun terbang menggoda benak. Teringat legenda kesaktiannya, apakah Bandung Bondowoso masih dalam kemurkaan abadinya sehingga membelah Puncak Merapi? Entahlah.
Mengintip di antara legenda dan mitos: stupa Candi Sewu dan puncak merapi!

Sambil mengusir lamunan, pelan saya melangkah ke ruang dalam candi. Di dalamnya terdapat tempat untuk meletakkan benda-benda untuk peribadatan. Konon, Candi Sewu memang merupakan candi Budha yang saat itu digunakan untuk berbagai kegiatan peribadatan bagi masyarakat bumi Mataram yang beragama Budha.
Pemandangan dari ruang dalam Candi Utama di Candi Sewu

Saya kembali membayangkan indahnya kehidupan antar umat beragama di masa itu. Masyarakat Mataram yang sebagian beragama Hindu dan sebagian lain beragama Budha hidup rukun berdampingan dengan penuh toleran. Sebuah nilai yang kini mulai memudar di tengah kemajemukan masyarakat bangsa kita.

Sambil berharap nilai-nilai toleran sebagaimana yang tergambar di Candi Sewu ini senantiasa bersemi kembali, saya melangkah menyusuri candi hingga ke sisi barat. Di balik keteduhan candi karena tak terkena sinar sang mentari, saya kembali melihat ke pelataran. Di sana masih menyimpan sejuta cerita indah yang tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu yang hingga hari ini masih belum tersusun dengan rapi.
Sejuta kisah masih tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu

Candi Sewu, bersama dengan candi-candi di sekitarnya adalah salah satu peradaban yang mempesona di Jawa Tengah. Selain keindahan arsitekturnya, di sana terpancar pula keindahan toleransi antar umat beragama. Candi Sewu, Lumbung, dan Bubrah yang berlatar belakang Budha, berdiri berdampingan mesra dengan Candi Prambanan, candi Hindu terbesar di Indonesia. Sebuah peradaban yang tentu akan menggugah kita untuk selalu memiliki rasa tenggang rasa terhadap sesama.

Jikalau itu semua juga belumlah cukup untuk menumbuhkan rasa toleransi kita, maka berkunjunglah ke Candi Sojiwan. Jaraknya sekitar empat kilometer ke arah selatan dari Candi Sewu. Candi Budha yang terletak di Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini konon dibangun oleh Raja Balitung yang beragama Hindu sebagai penghormatan terhadap neneknya yang beragama Budha.
Candi Sojiwan, penghormatan Raja Balitung kepada neneknya yang berbeda agama

Atau berkunjunglah juga ke Candi Plaosan, yang terletak sekitar dua kilometer sebelah timur dari Candi Sewu. Tepatnya berada di Desa Plaosan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Candi Budha ini dibangun sekitar abad ke-9 M. Konon candi ini dibuat oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, sebagai bukti cinta kepada istrinya, Pramodyawardani. Pramodyawardani sendiri adalah putri Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang beragama Budha.
Candi Plaosan, hadiah cinta Rakai Pikatan kepada Pramodyawardani, istrinya yang juga berbeda agama

Sungguh, keindahan toleransi yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ribuan kata rasanya tak akan mampu menerjemahkan keindahan Candi Sewu serta candi-candi ini. Maka, kunjungilah mahakarya dengan ribuan pesona yang selalu bisa meluluhkan hati siapapun yang mendatanginya. Untuk kemudian terjebak pada kecintaan yang mendalam. Ya, sebagaimana cintanya Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang. Sebagaimana rasa cinta dan hormat Raja Balitung kepada neneknya. Atau juga rasa cinta Rakai Pikatan kepada Pramodyawardani. Maka, kunjungilah, dan cintailah!
Sebelum pulang, mari berselfie dulu! Sebagai saksi pesona keindahan toleransi di balik legenda seribu candi..










*
#VisitJawaTengah #JatengGayeng

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @visitjawatengah (www.twitter.com/visitjawatengah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar