Selasa, 20 September 2016

Membangunkan Roro Jonggrang di Candi Prambanan

Konon, pada suatu hari yang indah di tanah Mataram…

Roro Jonggrang, seorang puteri raja yang kecantikannya tiada tara, sedang meratapi kematian ayahnya, Prabu Boko, yang gugur di tangan seorang Pangeran dari Kerajaan Pengging, kerajaan di sebelah wilayah kerajaan Boko.

Sementara di tempat lain, Bandung Bondowoso, nama Sang Pangeran yang terkenal sakti mandraguna itu, tengah berupaya menaklukkan rasa gundah gulananya karena telah membunuh ayah dari Roro Jonggrang. Sebagai seorang Pangeran, ia memang harus menjaga keutuhan wilayah kekuasaan kerajaannya. Akan tetapi di sisi lain, hatinya tak tega melihat penderitaan seorang puteri cantik yang kehilangan ayahnya. Untuk menebus rasa bersalahnya, maka sebagai laki-laki sejati, ia berniat untuk mempersunting Roro Jonggrang, dengan harapan ia bisa menjaga Sang Puteri seumur hidupnya.
Candi Boko, yang menurut legenda adalah pusat kekuasaan Prabu Boko (Image Source)

Namun, perasaan cinta dan sayang yang tulus dari seorang Bandung Bondowoso untuk memperisteri Roro Jonggrang, tidak serta merta disambut Sang Puteri dengan tangan terbuka. Bagaimana tidak? Roro Jonggrang tentu tidak mau menerima lamaran Bandung Bondowoso, laki-laki yang telah membunuh ayahnya. Tetapi sebagai seorang puteri yang hidup dengan penuh etika dan tatakrama, ia harus menggunakan cara-cara yang anggun untuk menolak sebuah lamaran tanpa memperlihatkan sikap penolakannya.

Setelah berpikir panjang, Sang Putri bersedia menerima lamaran Sang Pengeran dengan dua syarat. Pertama, Bandung Bondowoso harus membuat sebuah sumur Jalatunda. Dan yang kedua, Bandung Bondowoso harus membuat seribu candi. Kedua syarat itu harus selesai dalam sehari semalam. Mungkin, jika mendengar persyaratan itu, sebagian laki-laki akan mundur teratur. Namun, tidak dengan Bandung Bondowoso. Atas nama cinta dan kasih sayang dan dengan bermodal kesaktiannya, ia menyanggupinya.
Sumur Jalatunda di Dieng, diyakini sebagai bagian dari legenda Roro Jonggrang (Image Source)

Ternyata dengan tekad yang kuat, Bandung Bondowoso pun dengan mudah berhasil menyelesaikan syarat pertama, membangun sumur Jalatunda. Kini, ia hanya tinggal menyelesaikan persyaratan kedua, membangun seribu candi! Sepertinya mustahil membangun seribu candi dalam waktu sehari semalam. Namun, sebagai seorang Pangeran yang sakti, pekerjaan itu tentu bukan sesuatu yang teramat sulit. Dan dengan kesaktiannya, ia berhasil meminta bantuan para makhluk halus untuk membangun seribu candi. 

Melihat pembangunan seribu candi itu hampir selesai, Roro Jonggrang mulai khawatir. Ia segera membangunkan seluruh perempuan desa untuk mulai menumbuk padi pada lesung-lesung. Ia juga memerintahkan para dayangnya untuk membakar jerami pada sisi timur desa. Tujuannya tak lain untuk menampakkan bahwa seolah-olah waktu malam sudah hilang, dan pagi telah datang. Bahkan, melihat kegiatan pagi sudah berlangsung, ayam-ayam pun terperdaya dan mulai berkokok bersaut-sautan. 
Ilustrasi ayam berkokok mendengar suara lesung (Image Source)

Pun demikian dengan para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaan yang sudah mencapai 999 candi, karena mengira bahwa sebentar lagi sang mentari akan terbit. Dengan itu, maka Bandung Bondowoso dinyatakan gagal untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Roro Jonggrang.

Mengetahui bahwa kegagalan itu adalah akibat dari tipu muslihat Sang Putri, Bandung Bondowoso pun murka. Ia tak lagi percaya akan gerak gemulai dan kecantikan Roro Jonggrang. Dan dalam kemurkaannya itu, dengan kesaktiannya ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu, sekaligus untuk melengkapi sebagai candi yang ke seribu.
Arca Durga di ruang utara Candi Prambanan (Image Source)

Konon, menurut legenda, arca Durga yang sampai saat ini mendiami ruang sebelah utara di Candi Prambanan adalah perwujudan dari Sang Putri yang dikutuk menjadi batu oleh Bandung Bondowoso. Sehingga, bangunan yang indah itu selain dikenal sebagai Candi Prambanan, juga dikenal sebagai Candi Roro Jonggrang, yang berarti gadis cantik nan semampai.

Legenda Roro Jonggrang yang sudah diceritakan sejak kecil itu kembali memenuhi benak saya ketika melangkah melalui pintu masuk Candi Prambanan beberapa waktu yang lalu. Meski sudah mulai dituturkan sejak ratusan tahun yang lalu, namun warisan budaya berupa legenda Roro Jonggrang tersebut sampai hari ini seolah tak lekang oleh waktu. Bukan hanya legendanya, namun Candi Roro Jonggrang hingga kini juga masih berdiri menawan menyambut siapa saja yang datang mengunjunginya.
Jalan masuk ke pelataran utama Candi Prambanan (Dok. Pribadi)

Di luar kisah Roro Jonggrang yang beredar di masyarakat, candi ini diperkirakan mulai dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya, sekitar abad ke-9 Masehi. Menurut prasasti Siwaghra yang saat ini tersimpan rapi di Museum Nasional Indonesia, nama asli candi ini adalah Siwaghra. Kata Siwaghra sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya adalah Rumah Siwa. Dari prasasti tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Rakai Pikatan membangun Candi Prambanan ini sebagai bukti rasa cinta sekaligus sebagai persembahan bagi Dewa Siwa.
Peta pelataran utama Candi Prambanan (Image Source)

Jika kita mengunjungi Candi Prambanan, kita dapat menyaksikan tiga candi utama yang berdiri kokoh di tengah candi-candi kecil yang mengelilinginya. Ketiga candi tersebut adalah Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa yang merupakan lambang Trimurti dalam kepercayaan agama Hindu. Ketiga candi utama yang menghadap ke timur itu, masing-masing memiliki satu candi pendamping yang berdiri menghadap ke barat, yaitu candi Nandini, Angsa dan Garuda. Selain candi utama dan candi pendamping tersebut, masih banyak sekali candi lain di kompleks ini, yaitu Candi Kelir, Candi Apit, Candi Patok, dan Candi Perwara, serta candi-candi kecil lainnya. 
Candi Patok, salah satu candi di sudut pelataran utama (Dok. Pribadi)

Entah kenapa, ketika melihat susunan batu candi, saya selalu merasa takjub dan terpesona. Demikian juga ketika saya melihat Candi Siwa, candi tertinggi yang terletak di tengah-tengah. Saat memasuki candi ini, kita akan menemukan empat buah ruangan. Satu ruangan berisi arca Siwa. Sedangkan tiga ruangan yang lain masing-masing berisi arca Agastya (guru Siwa), Ganesha (putra Siwa) dan Durga (istri Siwa), yang dalam legenda disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang.
Candi Siwa yang menjulang setinggi 47 meter (Dok. Pribadi)

Tak sampai di situ, keterpesonaan saya berlanjut ketika keluar dari Candi Siwa kemudian melanjutkan langkah menikmati pemandangan candi-candi yang ada di sekitarnya. Di Candi Wisnu, kita akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Pun demikian juga di Candi Brahma yang memiliki satu ruangan berisi arca Brahma. 

Selesai mengagumi tiga candi utama, saya melanjutkan langkah kaki menuju candi-candi pendamping. Menurut saya, yang paling menarik di antara candi pendamping adalah Candi Garuda. Menarik, karena candi ini menyimpan sebuah kisah tentang Garuda, sosok manusia setengah burung dalam mitologi Hindu. Konon, Garuda sendiri merupakan burung mistik yang berparuh dan bersayap mirip elang, bertubuh emas, dan berwajah putih, serta bersayap merah.
Candi Garuda yang menyimpan kisah Garuda, sosok manusia setengah burung (Dok. Pribadi)

Selain berbagai tipe candi tersebut, di tempat wisata budaya ini, kita juga dapat menjumpai relief yang menceritakan tentang dua kisah yang sangat fenomenal, yaitu kisah Ramayana dan Krishnayana. Relief ini terpahat di dinding pagar yang mengelilingi Candi Trimurti bagian dalam. Relief Ramayana menceritakan tentang perjuangan Sang Rama yang dibantu oleh Hanoman, Si Kera Putih untuk merebut Shinta, istrinya yang diculik oleh Rahwana. Sedangkan Krishnayana, relief ini menceritakan tentang perjalanan hidup seorang Krishna sebagai awatara atau reinkarnasi dari  Wishnu.
Relief Ramayana yang terpahat di dinding candi (Dok. Pribadi)

Relief lain yang bisa kita saksikan di candi ini adalah relief seekor singa yang diapit oleh pohon Kalpataru. Keberadaan relief pohon Kalpataru inilah yang kemudian membuat para ahli sejarah menganggap bahwa masyarakat pada abad ke-9 sudah memiliki kearifan dalam mengelola lingkungan hidup. Sebagaimana dalam filosofi, pohon Kalpataru adalah pohon kehidupan yang rindang serta meneduhkan.
Relief singa yang diapit dua pohon Kalpataru (Dok. Pribadi)

Ya, tak ubahnya Candi Prambanan yang saat itu memberi keteduhan kepada saya di bawah teriknya matahari. Dan di balik keteduhan candi ini, saya kembali melihat ke pelataran. Di sana masih menyimpan sejuta cerita yang tersembunyi di balik ribuan reruntuhan batu yang hingga hari ini masih belum tersusun dengan rapi.
Ribuan tumpukan batu yang masih menyimpan sejuta cerita (Dok. Pribadi)

Hamparan batu candi yang berserakan di pelataran membuat saya merenung dan kemudian tersenyum sendiri. Bagi saya, candi ini sangat luar biasa berkesannya. Bukan sekedar kisah Roro Jonggrang semata yang ada di dalam tumpukan batu serta bangunan candi-candi yang berdiri dengan megahnya. Akan tetapi, di sana juga tersimpan sejuta cerita dan pesona yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Maka tak heran, jika Candi Prambanan ini menjadi bagian dari Jogja Heritage yang sangat berharga. Bahkan, UNESCO pun pada tahun 1991 silam menetapkannya sebagai World Wonder Heritage (Warisan Budaya Dunia).
Candi Prambanan, satu dari banyak Jogja Heritage yang harus tetap lestari (Dok. Pribadi)

Maka, amat disayangkan jika pesona candi yang menjulang setinggi 47 meter ini hilang tanpa cerita. Amat disayangkan juga jika anak-anak kita kelak lebih mengenal cerita-cerita sinetron dibanding dengan kisah Roro Jonggrang. Dan sebagai pewaris budaya bangsa, tak ada hal lain yang harus kita lakukan, selain mengunjunginya dan 'membangunkan' Roro Jonggrang yang ada di sana. Bukan membangunkan arca Roro Jonggrang dalam arti yang sebenarnya. Melainkan dalam artian membangunkan nilai-nilai budaya yang ada, yakni dengan cara: kunjungi, cintai, dan lestarikan.
Bidadari kecilku, Si Zizi pun tertidur pulas di dalam buaian kisah Roro Jonggrang (Dok. Pribadi)

Candi Prambanan dengan legenda Roro Jonggrangnya tentu hanya sebagian kecil dari warisan sejarah dan budaya yang ada di Jogjakarta. Masih banyak Jogja Heritage lain yang harus dilestarikan. Karena memang tak bisa kita pungkiri, Jogjakarta adalah kota kuno yang telah tergabung dalam Liga Kota Bersejarah di dunia bersama lebih kurang 100 kota lainnya. Jogjakarta adalah kota sejarah sekaligus kota budaya yang memiliki ratusan warisan yang dapat dikategorikan sebagai heritage, baik warisan yang berwujud (tangible) ataupun warisan yang tidak berwujud (itangible).
Kiri: Keraton Jogja (Image Source), kanan atas: Kotagede (Image Source), dan kanan bawah:  Situs Taman Sari (Image Source)

Dalam hati kecil, saya membatin. Mungkin suatu saat saya harus berkunjung ke Kotagede, untuk menyaksikan artefak-artefaknya sebagai bukti peninggalan kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Atau berkunjung ke Keraton Jogja yang merupakan sarana pelestarian budaya Jawa di tengah gerusan modernitas zaman. Atau juga ke Taman Sari, Kotabaru, Benteng Vredeburg, Museum Sonobudoyo, Pasar Beringharjo dengan koleksi batiknya, serta warisan-warisan lain yang tentu tak cukup waktu sehari atau dua hari untuk menyaksikan betapa berharga dan indahnya warisan budaya yang ada di Jogjakarta ini. Belum lagi warisan berupa Batik, Tari Serimpi, Gamelan, dan lain sebagainya. Ah, betapa banyaknya warisan budaya Jogja ini..
Kiri: Benteng Vredeburg (Image Source), kanan atas: Pasar Beringharjo (Image Source), dan kanan bawah: Museum Sonobudoyo (Image Source)

Namun, belum selesai membayangkan begitu istimewanya Jogja, tiba-tiba hujan turun dan membuyarkan lamunan. Tapi saya yakin, guyuran air hujan tak akan menghentikan bus-bus yang masuk memenuhi tempat parkir Candi Prambanan ini. Sebentar lagi pengunjung lain akan berdatangan untuk memberi warna baru pada candi ini. Saya bangkit dan membereskan barang bawaan, kemudian melangkah pulang bersama legenda Roro Jonggrang…
#Heritageku #Heritagemu #Heritagekitasemua

***
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blogger Jogja Heritage

Tidak ada komentar:

Posting Komentar