Tak bisa dipungkiri, dengan diterapkannya otonomi daerah di Indonesia, secara tidak langsung telah mendukung berjalannya proses demokrasi di negeri ini. Hal tersebut dapat kita saksikan dari meningkatnya peran masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah. Dan dengan pilkada langsung, itu berarti kepala daerah akan diberikan tanggung jawab oleh warga daerahnya, bukan oleh DPRD ataupun partai politik. Sehingga setelah terpilih, kepala daerah tentu dituntut untuk bertanggung jawab kepada warga daerahnya, yaitu melalui berbagai program serta kebijakan yang adil dan menyejahterakan rakyatnya.
Namun amat disayangkan, apa yang terjadi justru sering tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di berbagai daerah, banyak sekali kita temukan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Tentu saja ini bukan merupakan kabar baik bagi negeri yang menjunjung tinggi nilai demokrasi ini. Padahal, jabatan kepala daerah sejatinya memiliki posisi strategis yang akan menentukan maju tidaknya suatu daerah. Lantas, siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap hal ini?
Pertanyaan yang tentu sangat sulit untuk dijawab. Namun kalau kita menyaksikan apa yang terjadi di negeri ini, khususnya terkait dengan hasil penyelenggaraan pilkada, mungkin kita akan teringat komentar Plato, ketika masa kemerosotan Yunani pasca kekalahan dalam perang Pelopones, “Pemerintahan menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat, tetapi berambisi.”
Dan menurut saya, sepertinya hal itulah yang terjadi di Indonesia saat ini. Banyak kursi kepala daerah yang diduduki oleh orang-orang yang hanya memiliki ambisi semata. Padahal, sebagai sebuah kekuasaan politik, jabatan kepala daerah memiliki nilai yang mulia. Karena itu, kursi tersebut seharusnya juga diduduki oleh orang-orang yang mulia, yaitu mereka yang jujur, adil, berkualitas, dan bertanggung jawab.
Kita tentu sepakat, bahwa jabatan kepala daerah bukanlah merupakan sebuah profesi, melainkan bentuk pengabdian tertinggi terhadap daerahnya. Jadi, siapapun yang tidak memiliki semangat mengabdi, sesungguhnya ia tidak layak menduduki jabatan kepala daerah. Oleh karenanya, seorang kepala daerah dituntut untuk memiliki semangat pengabdian, karakter dan integritas yang tinggi. Seorang pemimpin yang memiliki nilai-nilai tersebut, tentu akan bersikap jujur dan adil saat memimpin daerahnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, tugas seorang kepala daerah adalah bertanggung jawab memimpin daerah untuk mewujudkan cita-cita masyarakatnya. Tanggung jawab ini, dalam etika kepemimpinan dapat disebut sebagai nilai keutamaan yang harus tertanam di dalam diri seorang pemimpin. Kepala daerah yang bertanggung jawab harus dapat memberi pertanggungjawaban tentang segala tindakannya. Bukan hanya kepada masyarakat luas, melainkan kepada dirinya sendiri, dan sebagai manusia yang beragama tentu juga kepada Tuhannya. Maka bisa dikatakan, ketika seorang kepala daerah terjerat kasus korupsi dan tidak melakukan tanggung jawabnya, itu berarti sebenarnya ia telah mencemarkan identitas diri dan Tuhannya.
Meskipun memikul sebuah tanggung jawab kepala daerah itu tidak ringan, namun sebenarnya itu tidak akan terasa berat jika ditopang dengan hati nurani. Hati nurani adalah rambu-rambu di dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita. Pemimpin berhati nurani adalah pemimpin yang mau mendengar suara kebenaran dan keluh kesah rakyatnya. Hati nurani dapat menjadi rambu-rambu pengingat bagi setiap kepala daerah ketika akan memutuskan suatu kebijakan. Kepala daerah yang menggunakan rambu-rambu hati nurani, sudah pasti akan berusaha menjauhi berbagai pelanggaran yang berpotensi menyebabkan kerugian bagi dirinya dan masyarakat yang dipimpinnya.
Kini, sudah waktunya bagi kita untuk meneliti dan berusaha mengenal siapa sebenarnya yang layak menduduki kursi kepala daerah. Jangan sampai seperti memilih kucing dalam karung. Karena jika jabatan kepala daerah jatuh ke tangan mereka yang tak bermoral, maka akan menjadi sarana untuk menghinakan martabat kemanusiaan. Sebaliknya, di tangan orang-orang yang bermoral dan bermartabat, jabatan bisa menjadi sarana yang membawa manusia pada kemuliaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Menjelang pelaksanaan pilkada yang tinggal beberapa bulan lagi, kita tentu berharap setiap calon kepala daerah dapat menunjukkan martabat terbaik dari dirinya. Calon kepala daerah juga harus berkomitmen menjadikan kepentingan warga daerahnya sebagai tujuan utama. Siapapun mereka, apapun suku dan agamanya, jika mereka telah berjuang mengembangkan karakter-karakter mulia, serta menunjukkan martabat terbaiknya, mestinya layak kita dukung untuk menduduki jabatan kepala daerah, demi mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.
Semoga saja, dari kotak-kotak suara dalam pilkada yang sudah di depan mata ini, akan mampu memunculkan nama-nama pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas, berdedikasi tinggi, serta bermartabat.
- See more at: http://siperubahan.com/read/2749/Menantikan-Pemimpin-yang-Bermartabat#sthash.w8BjSas9.dpuf
** Sumber gambar: merdeka.com
Namun amat disayangkan, apa yang terjadi justru sering tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di berbagai daerah, banyak sekali kita temukan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Tentu saja ini bukan merupakan kabar baik bagi negeri yang menjunjung tinggi nilai demokrasi ini. Padahal, jabatan kepala daerah sejatinya memiliki posisi strategis yang akan menentukan maju tidaknya suatu daerah. Lantas, siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap hal ini?
Pertanyaan yang tentu sangat sulit untuk dijawab. Namun kalau kita menyaksikan apa yang terjadi di negeri ini, khususnya terkait dengan hasil penyelenggaraan pilkada, mungkin kita akan teringat komentar Plato, ketika masa kemerosotan Yunani pasca kekalahan dalam perang Pelopones, “Pemerintahan menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat, tetapi berambisi.”
Dan menurut saya, sepertinya hal itulah yang terjadi di Indonesia saat ini. Banyak kursi kepala daerah yang diduduki oleh orang-orang yang hanya memiliki ambisi semata. Padahal, sebagai sebuah kekuasaan politik, jabatan kepala daerah memiliki nilai yang mulia. Karena itu, kursi tersebut seharusnya juga diduduki oleh orang-orang yang mulia, yaitu mereka yang jujur, adil, berkualitas, dan bertanggung jawab.
Kita tentu sepakat, bahwa jabatan kepala daerah bukanlah merupakan sebuah profesi, melainkan bentuk pengabdian tertinggi terhadap daerahnya. Jadi, siapapun yang tidak memiliki semangat mengabdi, sesungguhnya ia tidak layak menduduki jabatan kepala daerah. Oleh karenanya, seorang kepala daerah dituntut untuk memiliki semangat pengabdian, karakter dan integritas yang tinggi. Seorang pemimpin yang memiliki nilai-nilai tersebut, tentu akan bersikap jujur dan adil saat memimpin daerahnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, tugas seorang kepala daerah adalah bertanggung jawab memimpin daerah untuk mewujudkan cita-cita masyarakatnya. Tanggung jawab ini, dalam etika kepemimpinan dapat disebut sebagai nilai keutamaan yang harus tertanam di dalam diri seorang pemimpin. Kepala daerah yang bertanggung jawab harus dapat memberi pertanggungjawaban tentang segala tindakannya. Bukan hanya kepada masyarakat luas, melainkan kepada dirinya sendiri, dan sebagai manusia yang beragama tentu juga kepada Tuhannya. Maka bisa dikatakan, ketika seorang kepala daerah terjerat kasus korupsi dan tidak melakukan tanggung jawabnya, itu berarti sebenarnya ia telah mencemarkan identitas diri dan Tuhannya.
Meskipun memikul sebuah tanggung jawab kepala daerah itu tidak ringan, namun sebenarnya itu tidak akan terasa berat jika ditopang dengan hati nurani. Hati nurani adalah rambu-rambu di dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita. Pemimpin berhati nurani adalah pemimpin yang mau mendengar suara kebenaran dan keluh kesah rakyatnya. Hati nurani dapat menjadi rambu-rambu pengingat bagi setiap kepala daerah ketika akan memutuskan suatu kebijakan. Kepala daerah yang menggunakan rambu-rambu hati nurani, sudah pasti akan berusaha menjauhi berbagai pelanggaran yang berpotensi menyebabkan kerugian bagi dirinya dan masyarakat yang dipimpinnya.
Kini, sudah waktunya bagi kita untuk meneliti dan berusaha mengenal siapa sebenarnya yang layak menduduki kursi kepala daerah. Jangan sampai seperti memilih kucing dalam karung. Karena jika jabatan kepala daerah jatuh ke tangan mereka yang tak bermoral, maka akan menjadi sarana untuk menghinakan martabat kemanusiaan. Sebaliknya, di tangan orang-orang yang bermoral dan bermartabat, jabatan bisa menjadi sarana yang membawa manusia pada kemuliaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Menjelang pelaksanaan pilkada yang tinggal beberapa bulan lagi, kita tentu berharap setiap calon kepala daerah dapat menunjukkan martabat terbaik dari dirinya. Calon kepala daerah juga harus berkomitmen menjadikan kepentingan warga daerahnya sebagai tujuan utama. Siapapun mereka, apapun suku dan agamanya, jika mereka telah berjuang mengembangkan karakter-karakter mulia, serta menunjukkan martabat terbaiknya, mestinya layak kita dukung untuk menduduki jabatan kepala daerah, demi mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.
Semoga saja, dari kotak-kotak suara dalam pilkada yang sudah di depan mata ini, akan mampu memunculkan nama-nama pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas, berdedikasi tinggi, serta bermartabat.
- See more at: http://siperubahan.com/read/2749/Menantikan-Pemimpin-yang-Bermartabat#sthash.w8BjSas9.dpuf
***
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Opini Pemimpin Ideal Untuk Daerah** Sumber gambar: merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar